Berfikir Kritis dalam Pembelajaran Sejarah
Oleh:
Adam Sukarno Putra
120210302082
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN
PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat
Allah SWT yang telah melimpahkan rahmatnya serta karunianya sehingga makalah ini dapat
terselesaikan dengan baik. Kami menyampaikan rasa terima kasih kepada semua
pihak yang telah memberikan bantuan atas terselesainya makalah ini.
Makalah ini disusun
dengan tujuan sebagai bahan diskusi mata kuliah “Strategi Belajar Mengajar” dan sebagai
media untuk lebih mendalami setiap unit yang akan dipelajari dan dibahas dalam
mata kuliah ini.
Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih
belum sempurna. oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat
diperlukan untuk memperbaiki makalah yang telah dibuat. Akhirnya
semoga makalah ini dapat berguna bagi kita, amien ya rabbal alamin.
Jember, 30 September 2014
Penyusun
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Dalam tataran ini siswa yang sedang belajar bersifat pasif, menerima
apa saja yang diberikan guru, tanpa diberikan kesempatan untuk membangun
sendiri pengetahuan yang dibutuhkan dan diminatinya. Siswa sebagai manusia
ciptaan Tuhan yang paling sempurna di dunia karena diberi otak, dibelenggu oleh
guru. Siswa yang jelas-jelas dikaruniai otak seharusnya diberdayagunakan,
difasilitasi, dimotivasi, dan diberi kesempatan, untuk berpikir, bernalar,
berkolaborasi, untuk mengkonstruksi pengetahuan sesuai dengan minat dan
kebutuhannya serta diberi kebebasan untuk belajar. Pemahaman yang keliru bahkan
telah menjadi "mitos" bahwa belajar adalah proses menerima,
mengingat, mereproduksi kembali pengetahuan yang selama ini diyakini banyak
tenaga keguruan perlu dirubah. Jalaluddin Rakhmad (2005) dalam buku Belajar
Cerdas, menyatakan bahwa belajar itu harus berbasis otak. Dengan kata lain
revolusi belajar dimulai dari otak. Otak adalah organ paling vital manusia yang
selama ini kurang dipedulikan oleh guru dalam pembelajaran. Pakar komunikasi
mengungkapkan kalau kita ingin cerdas maka kita harus terlebih dahulu
menumbangkan mitos-mitos tentang kecerdasan
Kegiatan belajar berupa kegiatan menambah pengetahuan, kegiatan
menghadiri, mendengar dan mencatat penjelasan guru, serta menjawab secara
tertulis soal-soal yang diberikan saat berlangsungnya ujian. Pembelajaran baru
diimplementasikan pada tataran proses menyampaikan, memberikan, mentransfer
ilmu pengetahuan dari guru kepada siswa. Sebenarnya para guru telah menyadari bahwa
pembelajaran berpikir agar anak menjadi cerdas, kritis, dan kreatif serta mampu
memecahkan masalah yang berkaitan dengan kehidupan mereka sehari-hari adalah
penting. Kesadaran ini juga telah mendasari pengembangan kurikulum kita yang
kini lebih lebih mengedepankan pembelajaran konstekstual. Akan tetapi sebagian
benar guru belum berbuat, belum merancang secara serius pembelajaran yang
didasarkan pada premis proses belajar (Drost, 1998, Mangunwijaya, 1998)
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah teori berpikir kritis?
2. Bagaimanakah faktor berpikir kritis?
3. Bagaimanakah mengembangkan cara berpikir kritis?
1.3 Tujuan
Ø Untuk mengetahui Teori berfikir Kritis.
Ø Untuk
mengetahui faktor berpikir kritis.
Ø .Untuk
mengetahui bagaimana mengembangkan berpikir
kritis.
1.4 Manfaat
Ø Dapat mengetahui Teori berfikir Kritis..
Ø Dapat mengetahui faktor berpikir kritis.
Ø Dapat mengetahui bagaimana mengembangkan berpikir
kritis.
BAB II. PEMBAHASAN
2.1 Teori Berfikir Kritis
Berpikir
kritis adalah proses mental untuk menganalisis atau mengevaluasi informasi.
Informasi tersebut bisa didapatkan dari hasil pengamatan, pengalaman, akal
sehat atau komunikasi. Arthur L. Costa (1985:310) menggambarkan bahwa berpikir
kritis adalah: "using basic thinking
processes to analyze arguments and generate insight into particular meanings
and interpretation; also known as directed thinking". R. Matindas
(1996:71) menyatakan bahwa: "Berpikir kritis adalah aktivitas mental yang
dilakukan untuk mengevaluasi kebenaran sebuah pernyataan. Umumnya evaluasi
berakhir dengan putusan untuk menerima, menyangkal, atau meragukan kebenaran
pernyataan yang bersangkutan".
Memang banyak cara kita dalam mendefinisikan berpikir
kritis, misalnya Dewey mengartikan berpikir kritis sebagai "... essentially problem solving";
Ennis (dalam L.Costa,1985): "the
process of reasonably deciding what to believe"; atau juga dapat
didefinisikan sebagai :"... a search
for meaning, not the acquisition of knowledge" (Arendt,1977). Ennis
(dalam L.Costa,1985) dalam bentuk working definition menggambarkan bahwa :
"critical thinking is reasonable,
reflective thinking that is focused on deciding what to believe". Gega
(1977:78) Orang yang berpikir kritis adalah ".... who base sugesstion and conclusions on evidence ..." yang
ditandai dengan: menggunakan bukti untuk mengukur kebenaran kesimpulan,
menunjukkan pendapat yang kadang kontradiktif dan mau mengubah pendapat jika
ternyata ada bukti kuat yang bertentangan dengan pendapatnya. Senada dengan apa
yang dikemukakan Gega,
Berpikir kritis memuat
kemampuan membaca dengan pemahaman dan mengidentifikasi materi yang diperlukan
dengan yang tidak ada hubungan. Hal ini juga berarti dapat menggambarkan
kesimpulan dengan sempurna dari data yang diberikan, dapat menentukan
ketidakkonsistenan dan kontradiksi di dalam kelompok data. Berpikir kritis adalah
analitis dan reflektif. R. Matindas Juga mengungkapkan bahwa banyak orang
yang tidak terlalu membedakan antara berpikir kritis dan berpikir logis padahal
ada perbedaan besar antara keduanya yakni bahwa berpikir kritis dilakukan untuk
membuat keputusan sedangkan berpikir logis hanya dibutuhkan untuk membuat kesimpulan.
Pada dasarnya pemikiran kritis menyangkut pula pemikiran logis yang diteruskan
dengan pengambilan keputusan.
Dari pendapat-pendapat di atas dapat
dikatakan bahwa berpikir kritis itu meliputi dua langkah besar yakni melakukan
proses berpikir nalar (reasoning) dan diikuti dengan pengambilan keputusan/
pemecahan masalah (deciding/problem solving). Dengan demikian dapat pula
diartikan bahwa tanpa kemampuan yang memadai dalam hal berpikir nalar
(deduktif, induktif dan reflektif), seseorang tidak dapat melakukan proses
berpikir kritis secara benar. Berpikir
kritis berfokus pada apakah meyakini atau melakukan sesuatu mengandung
pengertian bahwa siswa yang berpikir kritis tidak hanya percaya begitu saja apa
yang dijelaskan oleh guru. Siswa berusaha mempertimbangkan penalarannya dan
mencari informasi lain untuk memperoleh kebenaran.
2.2 Faktor yang Mempengaruhi Berfikir Kritis
Ada
beberapa faktor yang mempengaruhi berpikir kritis siswa, diantaranya:
1)
Kondisi fisik: menurut Maslow dalam Siti Mariyam (2006:4) kondisi fisik
adalah kebutuhan fisiologi yang paling dasar bagi manusia untuk menjalani
kehidupan. Ketika kondisi fisik siswa terganggu, sementara ia dihadapkan pada
situasi yag menuntut pemikiran yang matang untuk memecahkan suatu masalah maka kondisi
seperti ini sangat mempengaruhi pikirannya.
2)
Motivasi: Kort (1987) mengatakan motivasi merupakan hasil faktor internal
dan eksternal. Motivasi adalah upaya untuk menimbulkan rangsangan, dorongan
ataupun pembangkit tenaga seseorang agar mau berbuat sesuatu atau
memperlihatkan perilaku tertentu yang telah direncanakan untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan. Menciptakan minat adalah cara yang sangat baik untuk
memberi motivasi pada diri demi mencapai tujuan.
3) Kecemasan: keadaan emosional;yang ditandai dengan kegelisahan dan
ketakutan terhadap kemungkinan bahaya. Menurut Frued dalam Riasmini (2000)
kecemasan timbul secara otomatis jika individu menerima stimulus berlebih yang
melampaui untuk menanganinya (internal, eksternal). Reaksi terhadap kecemasan
dapat bersifat; a) konstruktif, memotivasi individu untuk belajar dan
mengadakan perubahan terutama perubahan perasaan tidak nyaman, serta terfokus
pada kelangsungan hidup; b) destruktif, menimbulkan tingkah laku maladaptif dan
disfungsi yang menyangkut kecemasan berat atau panik serta dapat membatasi
seseorang dalam berpikir.
4) Perkembangan intelektual: intelektual atau kecerdasan merupakan kemampuan
mental seseorang untuk merespon dan menyelesaikan suatu persoalan,
menghubungkan satu hal dengan yang lain dan dapat merespon dengan baik setiap
stimulus. Perkembangan intelektual tiap orang berbeda-beda disesuaikan dengan
usia dan tingkah perkembanganya. Menurut Piaget dalam Purwanto (1999) semakin
bertambah umur anak, semakin tampak jelas kecenderungan dalam kematangan
proses.
2.3 Bagaimana Mengembangkan Berpikir Kritis
Pengembangan kemampuan berpikir kristis dan kreatif
serta memecahkan masalah yang berkaitan dengan kehidupan siswa adalah penting.
Kesadaran ini perlu dijadikan pijakan dalam pengembangan kurikulum dengan
mengedepankan pembelajaran konstekstual. Untuk itu para guru perlu berbuat,
merancang secara serius pembelajaran yang didasarkan pada premis proses
belajar. Kemampuan berpikir kristis dan kreatif dapat dikembangkan melalui
kegiatan pembelajaran. Kemampuan itu da mencakup beberapa hal, diantaranya, (1)
membuat keputusan dan menyelesaikan masalah dengan bijak, (2) mengaplikasikan
pengetahuan, pengalaman dan kemahiran berfikir secara lebih praktik baik di
dalam atau di luar sekolah, (3) menghasilkan idea atau ciptaan yang kreatif dan
inovatif, (4) mengatasi cara-cara berfikir yang terburu-buru, kabur dan sempit,
(5) meningkatkan aspek kognitif dan afektif, dan (6) bersikap terbuka dalam
menerima dan memberi pendapat, membuat pertimbangan berdasarkan alasan dan
bukti, serta berani memberi pandangan dan kritik
a)
Evaluasi
kemampuan berpikir kritis
Evaluasi merupakan proses
pengukuran pencapaian tujuan yang diinginkan dengan menggunakan metode yang
teruji validitas dan reliabilitasnya. Beberapa penelitian mengevaluasi
kemampuan berpikir kritis dari aspek keterampilan intelektual seperti
keterampilan menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi dengan menggunakan
pertanyaan-pertanyaan yang berbasis taxonomi Bloom. Sedangkan tujuan pengajaran
berpikir kritis meliputi ketrampilan dan strategi kognitif, serta sikap.
Colucciello menggabungkan berbagai elemen yang digunakan dalam penelitian
dan komponen pemecahan masalah serta kriteria yang digunakan dengan komponen
ketrampilan dan sikap berpikir kritis. Elemen tersebut antara lain menentukan
tujuan, menyusun pertanyaan atau membuat kerangka masalah, menunjukkan bukti,
menganalisis konsep, interpretasi, asumsi, perspektif yang digunakan,
keterlibatan, dan kesesuaian. Dengan kriteria antara lain: kejelasan,
ketepatan, ketelitian, keterkaitan, keluasan, kedalaman, dan logika.
DAFTAR PUSTAKA
Mestika Zed. 2003.
Metodologi Sejarah. Padang: Fakultas Ilmu-ilmu Sosial UNP
Syaodih, N. 1988.
Prinsip dan Landasan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: P2LPTK.
Sumantri,
M. 1988. Kurikulum dan Pengajaran. Jakarta: P2LPTK.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar