NAMA : ADAM SUKARNO PUTRA
NIM :
120210302082
KELAS : B
MATA KULIAH : STRATEGI BELAJAR MENGAJAR BIDANG
STUDI
PROGRAM STUDI : PENDIDIKAN
SEJARAH
STRATEGI PENGEMBANGAN MATERI PELAJARAN SEJARAH
MENURUT I GDE WIDJA
I Gede Widja menyatakan
bahwa pembelajaran Sejarah adalah perpaduan antara aktivitas belajar dan
mengajar yang di dalamnya mempelajari tentang peristiwa masa lampau yang erat
kaitannya dengan masa kini (Widja,1989).
Pendapat Widja tersebut dapat disimpulkan bahwa mata pelajaran Sejarah
merupakan bidang studi yang terkait dengan fakta-fakta dalam Ilmu Sejarah namun
tetap memperhatikan tujuan pendidikan pada umumnya. Proses pendidikan Sejarah
dianggap hanya menjadi sumber kecenderungan etnosentris, bahkan mengarah ke “xenophobia”. Sementara itu, Namier (dalam Widja, 1997)
berpendapat bahwa peran sejarah sebagai “moral
precepts” atau ajaran moral dianggap dapat menjelma menjadi indoktrinasi
sebagai legitimasi doktrin atau ideologi tertentu (Widja,1997:174). Sebagaimana pandangan Bacon, bahwa “histories make man wise”, Sejarah
diharapkan yang mempelajari menjadi lebih bijaksana (dalam Widja,1989). Sejarah tidak pernah berakhir diantara masa
yang akan dating dengan masa lampau “Histories unending dialogue betweenthe present and the past” (Widja, 1988: 49-50).
Selain itu, Mahasin berpandangan bahwa kritik umum
kepada pendukung nilai edukatif Sejarah dalam penanaman nilai-nilai sejarah
melalui proses pendidikan yang lebih menonjol adalah pencapaian tujuan-tujuan
edukatif yang bersifat ekstrinsik
atau instrumental. Padahal dalam teori belajar yang lebih utama
adalah nilai instrinsik. Penekanan sifat ekstrinsik atau instrumental
dalam Pendidikan Sejarah akan lebih mengarah pada pemahaman nilai sejarah
sebagai landasan bagi pembentukan semacam alat cetak membentuk manusia yang
sudah ditentukan sebelumnya (predefined
person), baik dalam rangka “cultural
transmission” maupun dalam penyiapan” moral precepts” bagi generasi baru. Dalam kerangka berpikir seperti ini, muncul
kecenderungan pemujaan berlebihan terhadap masa lampau yang pada gilirannya
memberi peluang bagi kekaburan realitas sejarah demi kepentingan masa kini atau
kecenderungan presentisme. Pengaburan seperti ini bisa mendorong
generasi baru hanya terpesona atau mengagumi masa lampau tanpa pernah berpikir
secara kreatif merencanakan bangunan masa depannya (Mahasin dalam I Gde Widja,
1997:176). Sebagai jalan tengah memahami
permasalahan di atas, perlu ditekankam strategi dasar berupa penanaman nilai
yang dinamis progresif. Dalam perspektif ini, apabila dalam proses
belajar-mengajar sejarah tidak bisa dihindarkan mengajak siswa untuk mengambil
nilai-nilai dari masa lampau, bukanlah dimaksudkan agar siswa terpaku dan
terpesona pada kegemilangan masa lampau.
Nilai-nilai masa lampau diperlukan untuk menjadi kekuatan motivasi
menghadapi tantangan masa depan (I Gde Widja, 1997: 183).
Mata pelajaran Sejarah sebagai alat mengabdi kepada
tujuan pendidikan yang multi aspek. Meski
demikian, Sejarah sebagai mata pelajaran tidak mengabaikan konsep dasar dan
prinsip keilmuan. Sejarah sebagai mata
pelajaran yang mempunyai misi atau tujuan pendidikan tertentu dan sejarah
sebagai ilmu harus dipadukan dalam konsep yang jelas tanpa mengorbankan
prinsip-prinsip salah satunya atau keduanya. Hal tersebut penting agar kekhawatiran tentang
subjektivitas Sejarah dalam pembelajaran Sejarah tidak mengorbankan ilmu
Sejarah. Jalan tengah menyikapi sudut pandang
yang berbeda dapat diselesaikan melalui slogan “histories make man wise”, sehingga perbedaan pandangan tersebut
juga harus disikapi dengan bijaksana.
Deskripsi I Gde Widja (1989) berikut ini bisa jadi merupakan representasi
buruknya kualitas praksis pembelajaran Sejarah di Indonesia yang pada
gilirannya bermuara pada timbulnya problematik status dan posisi Sejarah sebagai mata pelajaran yang
sering mendapat kesan bahwa pelajaran Sejarah itu tidak menarik, bahkan sangat
membosankan. Guru Sejarah hanya
membeberkan fakta-fakta kering berupa urutan tahun dan peristiwa belaka. Model
serta teknik pengajarannya dari waktu ke waktu juga itu-itu saja. Apa yang terjadi di kelas biasanya adalah guru
memulai pelajaran dengan bercerita atau lebih tepat membacakan apa-apa yang
telah tertulis di dalam buku ajar dan akhirnya langsung menutup pelajarannya
begitu bel akhir pelajaran berbunyi. Tidak
mengherankan di pihak guru-guru (termasuk guru Sejarah sendiri) sering timbul
kesan bahwa mengajar Sejarah itu mudah”.
Menurut Widja (1989; 1991), buruknya kualitas
praksis pembelajaran Sejarah di sekolah bersumber dari kekeliruan dalam memahami
hakekat Sejarah itu sendiri. Umumnya
kurang disadari bahwasannya Sejarah merupakan disiplin ilmu yang memiliki ciri
karakteristik bersifat khas, sedemikian khasnya sehingga praksis pembelajaran Sejarah pun tidak saja
memerlukan keahlian khusus, tetapi bahkan membutuhkan keterampilan istimewa. ”The teaching on history is in fact a skilled
and complex process which demands a highly professional approach” (Freeman, dalam Steel, 1976). Dari pernyataan ini tampak dengan jelas bahwa
praktis pembelajaran Sejarah memerlukan guru yang tidak sekadar berkualifikasi
akademik sarjana, melainkan guru yang sungguh-sungguh profesional.
Strategi pembelajaran merupakan satu hal yang
urgensinya sungguh-sungguh tidak boleh dipandang sebelah mata dalam konteks
pembelajaran. Pilihan suatu strategi
pembelajaran bukan saja akan sangat menentukan pola interaksi kegiatan belajar
mengajar dan tahap-tahap pencapaian
tujuan pembelajaran, tetapi bahkan akan sangat menentukan pula tingkat serta
kadar hasil belajar (Widja, 1989).
Terkait dengan itu, I Gde Widja (1989) mengungkapkan bahwa
bertolak dari pikiran tiga dimensi sejarah maka proses pendidikan khususnya
pengajaran sejarah ibarat mengajak peserta didik menengok ke belakang dengan
tujuan melihat ke depan. Makna yang
tertuang dari pendapat ahli tersebut adalah dengan mempelajari nilai-nilai
kehidupan masyarakat di masa lampau, diharapkan peserta didik mencari atau
mengadakan seleksi terhadap nilai-nilai itu, mana yang relevan atau dapat
dikembangkan dalam menghadapi tantangan zaman yang kompleks di masa kini maupun
yang akan datang. Proses mencari atau
proses seleksi jelas menekankan pada pendekatan proses serta menuntut untuk
lebih diciptakan aktivitas fisik-mental dan kreativitas siswa dalam belajar
sejarah. Hal ini sesuai dengan apa yang
dikemukakan oleh Sartono Kartodirdjo (1992) bahwa hendaknya pengajaran sejarah
memberi pengertian yang mendalam serta suatu keterampilan.
Dalam pelaksanaan pendekatan kontesktual atau inkuiri dalam
pembelajaran sejarah, hendaknya tidak semata-mata menekankan aktifnya peserta
didik dalam pembelajaran, tetapi lebih dari itu perlu diperhatikan maknanya
yang lebih luas, sebagaimana diungkapkan oleh I Gde Widja (1991), berikut ini :
§ Mengembangkan sikap kritis analitik
dalam menerima uraian guru atau dalam mengamati gejala / peristiwa sejarah
§ Membiasakan murid berpikir konsep
(merumuskan pandangan konseptual), bukan sekedar mengulangi apa yang dia dibaca
atau dengar dari guru
§ Mendorong siswa membaca / menemukan
sendiri informasi tangan pertama, bukan sekedar yang disampaikan / diberitahukan
orang lain / guru, yang memungkinkan mereka lebih mampu berpikir orisinil dalam
menghadapi gejala / peristiwa sejarah
§ Membiasakan murid membuat karangan
singkat yang bersifat analitik projektif yang berkaitan dengan usaha
meningkatkan kemampuan mereka dalam melihat tiga dimensi sejarah (masa lampau,
masa kini dan masa yang akan datang)
§ Membiasakan murid bersifat mandiri
dalam mengajukan pendapat, meskipun mereka dianjurkan pula untuk bekerja secara
kelompok
§ Membiasakan siswa berpikir
multidimensional (terutama dalam arti tidak bersifat deterministic) dalam
membahas suatu masalah
§ Membiasakan siswa bersifat terbuka
atau demokratis, dalam arti selalu bersedia menerima pendapat pihak lain, jika
pendapat pihak lain tersebut memang lebih kuat argumentasinya dari pendapatnya
sendiri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar